Posted by : Unknown
Jumat, 24 Mei 2013
FASE-FASE PERKEMBANGAN ILMU ANTROPOLOGI
1. FASE PERTAMA (SEBELUM 1800)
Kedatangan bangsa eropa barat ke benua Afrika, Asia, dan
Amerika selama 4 abad (sejak abad ke-15 hingga permulaan abad ke-16)
membawa pengaruh bagi berbagai suku bangsa ketiga benua tersebut.
Bersamaan dengan itu mulai terkumpul tulisa buah tangan para musafir,
pelaut, pendeta penyiar agama nasrani, penerjemah kitab injil, dan
pegawai pemerintahan jajahan dalam bentuk kisah perjalanan, laporan dan
sebagainya. Dalam buku-buku tersebut terdapat berbagai pengetahuan
berupa diskripsi tentang adat istiadat, susunan, masyarakat, dan
ciri-ciri fisik dari beragam suku bangsa baik di Afrika, Asia, Oseania
(yaitu kepulauan di laut teduh) maupun suku bangsa Indian, penduduk
pribumi Amerika. Bahan deskripsi itu (disebut ‘etnografi’ dari kata
ethos=bangsa) sangat menarik karena berbeda bagi bangsa eropa bangsa
barat kala itu. Akan tetapi, deskripsi tersebut sering kali tidak
jelas/kabur, tidak teliti, dan hanya memperhatikan hal-hal yang tampak
aneh bagi mereka. Selain itu ada tulisan yang baik dan teliti. Kemudian
dalam pandangan kalangan terpelajar di Eropa Barat timbul tiga macam
sikap yang bertentangan terhadap bangsa Afrika, Asia,Oseania, dan
orang-orang Indian di Amerika tadi, yaitu:
a) Ada yang berpandangan bahwa bangsa itu bukan manusia sebenarnya,
melainkan mereka manusia liar, keturunan iblis dan sebagainya. Dengan
demikian timbul istilah-istilah seperti iblis dan sebagainya. Dengan
demikian timbul istilah-istilah seperti savages, primitives, untuk
menyebut bangsa-bangsa tadi.
b) Ada yang berpendapat bahwa masyarakat bangsa-bangsa itu adalah
contoh dari masyarakat yang masih murni, belum mengenal kejahatan dan
keburukan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat
waktu itu.
c) Ada yang tertarik akan adat-istiadat yang aneh, dan mulai
mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa di
Afrika,Asia, Oseania, dan Amerika pribumi tadi itu. Kumpulan-kumpulan
pribadi itu ada yang dihimpun jadi satu, supaya dapat dilihat oleh umum,
dengan demikian timbul museum-museum pertama tentang kebudayaan
bangsa-bangsa di luar Eropa.
Pada permulaan abad ke-19 perhatian terhadap himpunan
pengetahuan tentang masyarakat, adat-istiadat dan ciri-ciri fisik
bangsa-bangsa di luar Eropa dari pihak dunia ilmiah menjadi sangat
besar, demikian besarnya sehingga timbul usaha-usaha pertama dari dunia
ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan
etnografi tadi menjadi satu.
2. Fase kedua (kira-kira pertengahan abad ke 19)
Integrasi yang sungguh-sungguh baru, timbul pada pertengahan
abad ke-19. Karangan-karangan etnografi tersebut berdasarkan cara
berfikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berfikir itu dapat
dirumuskan sebagai berikut: masyarakat dan kebudayaan menusia telah
berevolusi dengan sangat lambat yakni dalam jangka waktu beribu-ribu
tahun lamanya, dan tingkat-tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat
antara, sampai ke tingkat-tingkat. Bentuk masyarakat dan kebudayaan
seperti yang hidup di Eropa Barat kala itu. Semua bentuk masyarakat dan
kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa (oleh orang Eropa disebut
primitive) dianggap sebagai contoh dari tingkat kebudayaan lebih rendah,
yang masih hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari kebudayaan
manusia zaman dahulu. Berdasarkan cara berfikit tersebut, maka semua
bangsa di dunia dapat digolongakan menurut tingkat evolusi itu. Dengan
timbulanya beberapa karangan sekitar tahun 1860, yang mengklasifikasikan
tentang beragam kebudayaan diseluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat
evolusi tertentu. Maka timbulah ilmu antropologi.
Kemudian timbul pula beberapa karangan hasil penelitian
tentang sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di muka
bumi. Di sini pun kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu dianggap
sebagai sisa-sisa dan contoh-contoh dari kebudayaan manusia yang kuno
sehingga dengan meneliti kebudayaan menusia yang kuno sehingga dengan
meneliti kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu orang menambah
pengetahuan tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa fase perkembangannya yang kedua ini
ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal, dengan tujuan yang
dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan
primitif dengan maksud untuk mendapatkan suatu pengertian tentang
tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran
kebudayaan manusia.
3. Fase Ketiga (permulaan Abad ke-20)
Pada permulaan abad ke-20, sebagian negara penjajah di Eropa
berhasil untuk mencapai kemantapan kekuasaannya di daerah jajahan di
luar Eropa. Untuk keperluan pemerintahan jajahannya tadi, yang waktu itu
mulai berhadapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah diluar Eropa,
maka ilmu antropologi sebagai ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa
di daerah-daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting. Berkaitan
erat dengan itu dikembangkan pemahaman bahwa mempelajari bangsa-bangsa
di daerah di luar Eropa itu penting karena bangsa-bangsa itu pada
umumnya mesih mempunyai masyarakat yang belum kompleks seperti
masyarakat bangsa Eropa. Suatu pengertian tentang masyarakat yang tidak
kompleks akan menambah juga pengertian orang tentang masyarakat yang
kompleks.
Suatu ilmu antropologi dengan sifat-sifat seperti yang terurai
tadi, terutama perkembangan di inggris sebagai negara penjajah yang
utama, ddan juga yang semua negara koloni lainnya. Amerika Serikat pun
bukan negara kolonial, tetapi telah mengalami berbagai masalah yang
berhubungan dengan suku-suku bangsa indian penduduk pribumi Benua
Amerika, kemudian terpengaruh oleh ilmu Antropologi yang baru tadi.
Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang
praktis, dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari
masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa, guna
kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapatkan suatu pengertian
tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
4. Fase keempat (sesudah kira-kira 1930)
Dalam fase ini antropologi mengalami perkembangannya yang paling
luas, baik mengenai bertambahannya bahwa pengetahuan yang jauh lebih
teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Selain
itu kita lihat adanya dua perubahan di dunia:
a) Timbulnya antipati terhadap kolonialisme terhadap Perang Dunia II.
b) Cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli
dan terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar
tahun 1930 mulai hilang, dan sesudah Perang Dunia II memang hampir tidak
ada lagi bumi ini.
Proses-proses tersebut menyebabkan ilmu antropologi seolah-olah
kehilangan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang
baru. Adapun warisan dari fase-fase perkembangan semula, Yaitu yang
pertama, kedua, dan ketiga, berupa bahan etnografi dan banyak metode
ilmiah, tentu tidak dibuang sedemikian saja, tetapi menjadi umum di
negara-negara lain juga setelah tahun 1951, ketika 60 orang tokoh ahli
antropologi dari berbagai negara di Amerika dan Eropa (termasuk Uni
Soviet), mengadakan suatu simposium internasional untuk meninjau dan
merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari ilmu antropologi yang
baru itu.
Pokok atau sasaran dari penelitian para akli antropologi sudah
sejak tahun 1930, memang tidak hanya suku-suku bangsa primitif yang
tinggal di Benua Eropa saja, tetapi sudah teralih kepada manusia di
daerah pedesaan pada umumnya, ditinjau dari sudut keragaman fisiknya,
masyarakatnya, serta kebudayaannya. Dalam hal itu, perhatian tidak hanya
tertuju kepada penduduk daerah pedesaan di luar benua Eropa, tetapi
juga kepada suku-suku bangsa di daerah pedesaan di Eropa (seperti
suku-suku bangsa Soami, Flam, Lapp, Albania, Irlandia, penduduk
pegunungan Sierra dan lain-lain), dan kepada penduduk beberapa kota
kecil di Amerika Serikat (Middletown, Jonesville dan lain-lain).
Mengenai tujuannya, ilmu antropologi yang baru dalam
fase-perkembangan yang keempat ini dapat di bagi dua, yaitu tujuan
akademikal dan tujuan praktisnya. Tujuan akademiknya adalah mencapai
pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari
keragaman bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya. Karena di
dalam praktik ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat
suku-bangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam
keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa
itu.
Sumber : http://kulpulan-materi.blogspot.com/2012/01/fase-fase-perkembangan-ilmu-antropologi.html
Sumber : http://kulpulan-materi.blogspot.com/2012/01/fase-fase-perkembangan-ilmu-antropologi.html