Archive for Mei 2013
Jumat, 31 Mei 2013
Kanibalisme merupakan sebuah fenomena di mana satu
makhluk hidup makan makhluk sejenis lainnya. Misalkan anjing yang
memakan anjing atau manusia yang memakan manusia. Ternyata sampai
sekarang ini masih ada lho suku suku yang melakukan praktek kanibalisme
ini kamu mau tahu suku apa aja itu simak 7 Suku Kanibal di Dunia berikut
ini.
1. Suku Karibia
Nama suku inilah yang menjadi sebutan untuk orang yang memakan orang lain. Suku ini diketahui merupakan suku pertama di dunia yang melakukan praktek kanibalisme. Oleh para pelaut biasa disebut “The Carib people of the Lesser Antilles”. Nama ini diberikan oleh colombus dalam catatannya dengan menyebut nama “caniba” (yang merupakan kata lain dari kariba yang artinya “orang yang memakan orang”). Para suku karibia ini biasanya melakukan kanibalisme kepada musuhnya,namun semenjak masuknya agama kristen kesana,perlahan lahan budaya itu mulai hilang.
2. Suku Aztec
Suku aztec tidak diragukan lagi sebagai suku yang paling brutal sebelum ditemukannya benua amerika oleh colombus. Mereka melakukan ribuan pengorbanan menggunakan manusia tiap tahunnya. Korban biasanya dicabut jantungnya yang masih dalam keadaan berdetak selagi hidup. Lalu tubuhnya dijadikan masakan untuk dimakan beramai-ramai.
3. Suku Asli Amerika
Pada masa awal penaklukan benua amerika, banyak sejarawan bercerita bahwa suku-suku Indian di Amerika melakukan praktek kanibalisme. Walaupun sekarang masih jadi perdebatan namun banyak yang mengaku memiliki bukti praktek kanibalesme oleh suku-suku Indian. Contohnya suku indian karankawa di texas, pada tahun 1768 seorang pendeta yang berasal dari spanyol menyaksikan dan merekam ritual yang dilakukan karankawa kepada musuhnya yang disandera. Mereka mengelilingi korban tersebut dan secara bergantian memotong kulit/daging korbannya lalu memakan nya di depan mata korbannya.
4. Suku-suku di Afrika
Penduduk di benua ini masih melakukan praktek kanibalisme sampai saat ini. Walaupun secara kasat mata tidak pernah terlihat, banyak saksi mata melaporkan adanya aktivitas perdagangan organ tubuh manusia disana. Disertai bukti banyak warga pendatang yang hilang saat berlibur/melintas disana. Biasanya penculikan dilakukan oleh orang-orang kriminal. Disebutkan juga, pada saat perang Kongo ke 2 dan perang sipil di Liberia dan Sierra Leone sering terjadi aksi kanibalisme disana.
5. Suku Fiji
Budaya kanibalisme juga diketahui telah menyebar di kawasan Polinesia dan Melanesia. Sebagai contoh, Fiji dikenal sebagi pulau para kanibalisme. Seorang kepala suku fiji mengakui telah memakan 875 orang dan sangat membanggakannya.
6. Suku Korowai
Suku korowai di Papua, Indonesia diketahui sebagai suku yang masih tersisa di dunia dan melakukan kanibalisme hingga saat ini. Mereka biasanya memakan anggota sukunya yang dicurigai sebagai penyihir. Biasanya mereka memakan otaknya selagi masih dalam keadaan hangat. Kediaman mereka biasanya berada diatas pohon yang tinggi berguna untuk melindungi dari musuh-musuhya.
7. Suku Maori
Suku maori di Selandia Baru merupakan suku kanibal yang pernah terdokumentasikan dengan sangat baik. Kanibalisme sudah menjadi bagian dari kebudayaan maori,dan mereka tidak pernah berhenti memakan musuhnya. Ketika kapal Inggris, The Boyd, berlabuh dan para awaknya membunuh anak dari kepala suku maori, para pejuang suku maori membalas dendam dgn membunuh dan memakan 66 awak kapal tersebut.kejadian ini yang akhirnya terkenal sebagai “body massacre”.
Sumber : http://palingseru.com/9060/7-suku-kanibal-di-dunia
1. Suku Karibia
Nama suku inilah yang menjadi sebutan untuk orang yang memakan orang lain. Suku ini diketahui merupakan suku pertama di dunia yang melakukan praktek kanibalisme. Oleh para pelaut biasa disebut “The Carib people of the Lesser Antilles”. Nama ini diberikan oleh colombus dalam catatannya dengan menyebut nama “caniba” (yang merupakan kata lain dari kariba yang artinya “orang yang memakan orang”). Para suku karibia ini biasanya melakukan kanibalisme kepada musuhnya,namun semenjak masuknya agama kristen kesana,perlahan lahan budaya itu mulai hilang.
2. Suku Aztec
Suku aztec tidak diragukan lagi sebagai suku yang paling brutal sebelum ditemukannya benua amerika oleh colombus. Mereka melakukan ribuan pengorbanan menggunakan manusia tiap tahunnya. Korban biasanya dicabut jantungnya yang masih dalam keadaan berdetak selagi hidup. Lalu tubuhnya dijadikan masakan untuk dimakan beramai-ramai.
3. Suku Asli Amerika
Pada masa awal penaklukan benua amerika, banyak sejarawan bercerita bahwa suku-suku Indian di Amerika melakukan praktek kanibalisme. Walaupun sekarang masih jadi perdebatan namun banyak yang mengaku memiliki bukti praktek kanibalesme oleh suku-suku Indian. Contohnya suku indian karankawa di texas, pada tahun 1768 seorang pendeta yang berasal dari spanyol menyaksikan dan merekam ritual yang dilakukan karankawa kepada musuhnya yang disandera. Mereka mengelilingi korban tersebut dan secara bergantian memotong kulit/daging korbannya lalu memakan nya di depan mata korbannya.
4. Suku-suku di Afrika
Penduduk di benua ini masih melakukan praktek kanibalisme sampai saat ini. Walaupun secara kasat mata tidak pernah terlihat, banyak saksi mata melaporkan adanya aktivitas perdagangan organ tubuh manusia disana. Disertai bukti banyak warga pendatang yang hilang saat berlibur/melintas disana. Biasanya penculikan dilakukan oleh orang-orang kriminal. Disebutkan juga, pada saat perang Kongo ke 2 dan perang sipil di Liberia dan Sierra Leone sering terjadi aksi kanibalisme disana.
5. Suku Fiji
Budaya kanibalisme juga diketahui telah menyebar di kawasan Polinesia dan Melanesia. Sebagai contoh, Fiji dikenal sebagi pulau para kanibalisme. Seorang kepala suku fiji mengakui telah memakan 875 orang dan sangat membanggakannya.
6. Suku Korowai
Suku korowai di Papua, Indonesia diketahui sebagai suku yang masih tersisa di dunia dan melakukan kanibalisme hingga saat ini. Mereka biasanya memakan anggota sukunya yang dicurigai sebagai penyihir. Biasanya mereka memakan otaknya selagi masih dalam keadaan hangat. Kediaman mereka biasanya berada diatas pohon yang tinggi berguna untuk melindungi dari musuh-musuhya.
7. Suku Maori
Suku maori di Selandia Baru merupakan suku kanibal yang pernah terdokumentasikan dengan sangat baik. Kanibalisme sudah menjadi bagian dari kebudayaan maori,dan mereka tidak pernah berhenti memakan musuhnya. Ketika kapal Inggris, The Boyd, berlabuh dan para awaknya membunuh anak dari kepala suku maori, para pejuang suku maori membalas dendam dgn membunuh dan memakan 66 awak kapal tersebut.kejadian ini yang akhirnya terkenal sebagai “body massacre”.
Sumber : http://palingseru.com/9060/7-suku-kanibal-di-dunia
A. Pengertian Dinamika Kebudayaan
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena manusia adalah pendukung keberadaan suatu kebudayaan. Kebudayaan pada suatu masyarakat harus senantiasa memiliki fungsi yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan bagi para anggota pendukung kebudayaan. Kebudayaan harus dapat menjamin kelestarian kehidupan biologis, memelihara ketertiban, serta memberikan motivasi kepada para pendukungnya agar dapat terus bertahan hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk kelangsungan hidup.
Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan mengalami perubahan. Leslie White (1969) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Sependapat dengan itu Haviland (1993 : 251) menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan lingkungan yang dimaksud bisa menyangkut lingkungan alam maupun sosial.
Berkaitan dengan perubahan kebudayaan, Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat merupakan bagian dari perubahan kebudayaan (Poerwanto, 2000 : 142). Perubahan-peribahan dalam kebudayaan mencakup seluruh bagian kebudayaan, termasuk kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, bahkan dalam bentuk dan aturan-aturan organisasi sosial. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas, sudah tentu ada unsur-unsur kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Namun demikian setiap perubahan kebudayaan tidak perlu harus mempengaruhi sistem sosial masyarakat yang sudah ada sebelumnya.
Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih menekankan pada ide-ide yang mencakup perubahan dalam hal norma-norma dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai landasan berperilaku dalam masyarakat. Sedangkan perubahan sosial lebih menunjuk pada perubahan terhadap struktur dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem status, politik dan kekuasaan, persebaran penduduk, dan hubungan-hubungan dalam keluarga. Melihat unit analisis perubahan masing-masing perubahan tersebut, maka dapat dimengerti mengapa perubahan kebudayaan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perubahan sosial.
Dinamika kebudayaan identik dengan perubahan unsur- unsur kebudayaan universal, yang apabila ditinjau dalam kenyataan kehidupan suatu masyarakat, tidak semua unsur mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur kebudayaan yang mengalami perubahan secara cepat, ada pula yang lambat, bahkan sulit berubah. Apabila mengkaji pengertian kebudayaan menurut Antropolog Inggris Edward Burnett Tylor (Horton & Hunt, 2006 : 58) sebagai suatu kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, keyakinan, kesenian, hukum, moral, adat, semua kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat; maka tingkat perubahan unsur tersebut menjadi sangat variatif antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Untuk memudahkan pengertian mengenai tingkat kesulitan perubahan unsur-unsur kebudayaan, Koentjaraningrat (2003 : 81) menguraikan 7 (tujuh) unsur kebudayaan universal yang diasumsikan memiliki tingkat perubahan dari yang paling mudah sampai yang paling sulit yaitu :
1) Sistem peralatan hidup dan teknologi
2) Sistem mata pencaharian hidup
3) Organisasi sosial
4) Kesenian
5) Sistem pengetahuan
6) Bahasa
7) Sistem religi
Perubahan kebudayaan sebagai suatu kenyataan, didasari oleh seperangkat teori yang menjelaskan analisis kausal antara konsep-konsep yang relevan. Teori-teori yang menguraikan proses perubahan sosial dan budaya antara lain (Pelly & Menanti, 1994 : 200 – 201) :
1. Teori Sosio Historis Siklus dalam asumsi dasarnya mengemukakan bahwa peradaban manusia berkembang menurut suatu lingkaran atau siklus. Tokoh-tokoh teori ini adalah Ibnu Chaldun, Arnold Toynbee, dan Sorokin.
2. Teori Sosio Historis Perkembangan atau Linear lebih optimis dibanding penganut teori Sosio Historis Siklus. Hal ini didasarkan pada kepercayaan mereka terhadap kesempurnaan kemampuan manusia; proses perkembangan peradaban manusia diasumsikan menuruti garis lurus, makin berkembang makin baik.
3. Teori Psikologi Sosial banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan teori perubahan sosial terutama teori-teori tentang : (a) kepribadian kreatif, (b) kepribadian prestasi, dan (c) individu modern. Asumsi dasar dari teori-teori Psikologi Sosial yaitu individu-individu dengan kegiatan dan kreativitasnya akan dapat menggerakkan perubahan sosial.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kebudayaan
Masyarakat akan mengatur perilaku mereka dalam hubungan dengan alam dan lingkungannya, termasuk didalamnya cara berinteraksi sosial dengan sesama anggota masyarakat maupun dengan dunia supranatural menurut kepercayaan yang diyakini. Perubahan kebudayaan dapat terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan maupun adanya mekanisme akibat munculnya penemuan-penemuan baru atau invensi, difusi, hilangnya unsur kebudayaan, dan akulturasi.
Sairin (2002 : 1) mengemukakan bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan atau ide yang dimiliki oleh kelompok masyarakat yang befungsi sebagai landasan dan pedoman bagi masyarakat tersebut dalam berperilaku. Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak atau invisible power yang mampu mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik bersama, bauik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian, dan sebagainya. Oleh karena itu, kebudayaan bukan hanya terbatas pada kegiatan kesenian, peninggalan sejarah, atau upacara-upacara tradisional seperti yang dipahami oleh banyak kalangan selama ini.
Lebih jauh Sairin (2002 : 2) mengemukakan bahwa sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti sejak manusia dilahirkan sampai ajal menjelang. Proses belajar dalam konteks ini, bukan hanya dalam bentuk proses internalisasi dari sistem pengetahuan yang diperoleh melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah, atau lembaga pendidikan formal lainnya, tetapi juga diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya.
Belajar merupakan kata kunci dalam membicarakan transmisi kebudayaan. Konsep ini sangat penting kedudukannya dalam menganalisis berbagai masalah kebudayaan, karena memberikan petunjuk yang jelas bahwa manusia buksnlsh mshluk ysng statis dan dapat diperlakukan semena-mena, tetapi manusia adalah mahluk yang berakal, berpikir, dan melakukan penilaian sebelum memutuskan untuk bersikap pada sesuatu yang dihadapinya. Akal yang dimiliki manusia merupakan alat utama dalam menyaring, memahami, dan mempertimbangkan berbagai masukan yang diterima dari alam sekitarnya sebelum mengambil keputusan dalam bersikap terhadap sesuatu.
Dalam konteks yang lebih sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami secara sosial oleh para anggota masyarakat. Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial dan pada gilirannya, bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi yang berikutnya (Horton & Hunt, 2006 : 58).
Selain karakteristik kebudayaan diperoleh melalui prose belajar, salah satu karakteristik lain dari kebudayaan yaitu sifat dinamis. Kebudayaan selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Sifat manusia yang tidak pernah puas dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang semakin bermutu dan bervariasi menyebabkan manusia berupaya untuk membuat inovasi-inovasi baru. Berbagai unsur kebudayaan masyarakat Indonesia pada 25 tahun yang lalu, tanpa terasa sudah berubah pada saat-saat ini. Perubahan tersebut bukan semata-mata terjadi pada aspek kebudayaan materil melainkan juga pada aspek immateril.
Menurut Poerwanto (2000 : 143) sebab umum terjadinya perubahan kebudayaan lebih banyak dari adanya ketidakpuasan masyarakat, sehingga masyarakat berusaha mengadakan penyesuaian. Penyebab perubahan bisa saja bersumber dari dalam masyarakat, dari luar masyarakat atau karena faktor lingkungan alam sekitarnya. Faktor perubahan yang bersumber dari dalam masyarakat antara lain adalah :
1. Faktor demografi; yaitu bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk. Sebagai gambaran pertambahan penduduk yang saangat cepat di pulau Jawa menyebabkan perubahan struktur kemasyarakatan, terutama yang berkaitan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemahaman terhadap hak atas tanah, sistem gadai tanah, dan sewa tanah yang sebelumnya tidak dikenal secara luas. Perpindahan penduduk atau migrasi menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk di suatu daerah, sehingga banyak lahan yang tidak terurus dan lembaga-lembaga kemasyarakatan akan terpengaruh. Pengaruh akibat migrasi yang akan terlihat secara langsung adalah dalam sistem pembagian kerja dan stratifikasi sosial.
2. Penemuan baru; proses perubahan yang besar pengaruhnya tetapi terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut sebagai inovasi. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, masuknya unsur kebudayaan baru yang terebar ke berbagai bagian masyarakat. Penemuan baru dibedakan dalam dua pengertian, yaitu Discovery dan Invention.
Discovery adalah penemuan daru suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat atau pun berupa ide-ide baru yang diciptakan oleh seseorang atau bisa juga merupakan rangkaian ciptaan dari individu-individu dalam suatu masyarakat. Discovery baru akan menjadi invention bila masyarakat sudah mengakui, menerima, serta menerapkan penemuan baru yang ada. Penemuan-penemuan baru dapat tercipta bila ada kondisi yang menjadi stimulus, seperti :
a. Kesadaran dari individu akan adanya kekurangan dalam kebudayaan mereka
b. Kualitas ahli-ahli dalam satu kebudayaan yang terus mencari pembaharuan
3. Pertentangan atau konflik dalam masyarakat; dapat menjadi sebab timbulnya perubahan kebudayaan. Pertentangan yang terjadi bisa antara orang perorangan, perorangan dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Sebagai contoh pertentangan antar kelompok yaitu pertentangan antara generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan antar generasi kerapkali terjadi pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern.
4. Pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri; perubahan yang terjadi sebagai akibat revolusi merupakan perubahan besar yang mempengaruhi seluruh sistem lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Soekanto (1994 : 330 – 332) menyatakan bahwa selain pengaruh besar yang berasal dari dalam masyarakat, ada pula pengaruh yang datang dari luar masyarakat, seperti :
1. Dari lingkungan alam fisik di sekitar manusia seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor yang menyebabkan manusia seringkali harus berpindah tempat tinggal dan menyesuaikan diri dengan tempat tinggal yang baru. Contoh pada masyarakat pantai yang tertimpa musibah tsunami, semula mata pencaharian sebagai nelayan, ketika mereka harus pindah tempat tinggal di daerah dataran tinggi, maka mereka harus belajar hidup dari kegiatan pertanian.
2. Peperangan dengan negara lain bisa menyebabkan negara taklukan harus bersedia menerima kebudayaan yang dianggap lebih tinggi derajatnya oleh negara penguasa. Contoh : Jepang setelah kalah dalam Perang Dunia II mngalami perubahan, dari bentuk negara agraris-militer menjadi negara industri.
3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua kelompok masyarakat atau lebih, mempunyai kecenderungan menimbulkan pengaruh timbal balik bagi masing-masing kebudayaan.
Perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat senantiasa melalui tahapan beberapa bentuk proses. Proses perubahan kebudayaan sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain (Ibid, 333 – 337) :
1) Adanya kontak dengan kebudayaan lain atau diffusi. Proses ini merupakan penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu ke individu lain atau dari satu masyarakat ke satu masyarakat yang lain.
2) Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan memberikan suatu nilai-nilai tertentu bagi manusia, untuk menguasai berbagai ilmu dan pengetahuan, juga mengajarkan bagaimana manusia bisa berfikir secara oyektif, sehingga mampu menilai kebudayaan masyarakatnya apakah dapat memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan zaman atau tidak.
3) Sikap menghargai hasil karya seseorang serta keinginan-keinginan untuk maju.
4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang (deviasi) tetapi bukan yang bersifat kriminal.
5) Stratifikasi sosial masyarakat yang bersifat terbuka, sehingga nenberikan kesempatan kepada seseorang untuk maju dan mendapatkan kedudukan sosial yang lebih tinggi.
6) Penduduk yang heterogen. Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda akan mempermudah terjadinya kegoncangan budaya, dan selajutnya menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat.
7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
8) Orientasi ke masa depan dan adanya nilai-nilai bahwa manusia harus senantiasa memperbaiki kulitas hidup.
C. Implikasi Dinamika Kebudayaan Dalam Masyarakat
Masyarakat dan kebudayaan saling ketergantungan satu sama lain. Masyarakat tidak mungkin merupakan satu kesatuan fungsional tanpa kebudayaan, demikian sebaliknya. Atas daar hubungan fungsional inilah maka dalam masyarakat tercipta Esprit de corps dan para anggotanya dapat hidup dan bekerjasama dalam sgala aspek kehidupan (Linton, 1984 : 195).
Dinamika kebudayaan di dalam masyarakat terjadi melalui serangkaian proses yang memerlukan waktu dan membawa konsekuensi logis terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat. Kebudayaan merupakan suatu sistem yang menjadi penopang dan pengatur keberadaan suatu masyarakat, sehingga harus senantiasa dalam kondisi dinamis. Selain itu, kebudayaan juga harus mampu bersifat adaptif, selalu menyesuaikan diri terhadap lingkungan biogeofisik maupun lingkungan sosial-budaya para pendukung kebudayaan.
Peran individu-individu sebagai anggota masyarakat menjadi sangat strategis dalam mengantisipasi perubahan kebudayaan, meskipun partisipasi yang diberikan belum tentu sempurna. Berbagai analisis yang bisa dilakukan, terutama pada masyarakat dengan kebudayaan yang homogen adalah ditemukannya paling tidak 3 (tiga) kategori tingkat kesulitan, yaitu :
1. Ada ide-ide kebiasaan dan tanggapan bersyarat yang sama bagi semua anggota masyarakat. Kategori ini merangkum asosiasi dan nilai-nilai yang sebagian besar berada di bawah sadar, tetapi yang sebenarnya merupakan bagian integral dari kebudayaan.
2. Ada unsur-unsur kebudayaan yang hanya dinikmati oleh para anggota, yang termasuk didalam kategori individu-individu tertentu yang mendapat pengakuan sosial di dalam masyarakat. Kategori ini termasuk : pola-pola yang mengatur aktivitas yang beraneka ragam tetapi saling berhubungan dan berlaku bagi berbagai kelompok dari masyarakat di dalam pembagian kerja.
3. Ada sejumlah unsur-unsur yang hanya dinikmati oleh individu-individu tertentu, tetapi dapat diakatakan asing bagi seluruh anggota masyarakat atau asing juga bagi semua anggota dari setiap kategori individu-individu yang mendapat pengakuan sosial.
Menurut Parsons sebagaimana dikutip Poerwanto (2000: 153), setiap perubahan budaya akan menimbulkan ketidakseimbangan terhadap nilai-nilai budaya dan sistem sosial masyarakat yang sudah lebih dahulu ada. Namun pada gilirannya akan tercipta pula serangkaian upaya yang berfungsi untuk menjaga terciptanya keseimbangan nilai-nilai budaya dari para pendukung kebudayaan.
Berbagai perubahan sosial dan kebudayaan akan membawa akibat menguntungkan dan merugikan bagi masyarakat. Jika suatu perubahan terjadi, maka masyarakat pendukungnya harus siap melakukan modifikasi pola tingkah laku. Sebagaimana dikemukakan oleh Sahlins dalam Poerwanto (2000: 140), bahwa dalam menghadapi lingkungan fisik, manusia cenderung melakukan pendekatan budaya dalam bentuk sistem simbol, makna dan sistem nilai.
Implikasi dinamika kebudayaan seharusnya bertujuan untuk menciptakan perbaikan kualitas hidup bagi semua anggota masyarakat. Perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi hendaknya membuat masyarakat dapat menikmati hidup yang layak. Bila kita perhatikan, perubahan budaya lebih mengarah pada upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas, dan terampil dalam era persaingan global.
Mengetahui laju pertumbuhan ekonomi bangsa kita yang mulai banyak bergerak dalam bidang industri, seharusnya pemerintah tetap mengupayakan keseimbangan lahan usaha dengan konservasi alam dan pemukiman penduduk. Namun sangat disayangkan, lahan untuk konservasi alam semakin sempit. Dengan demikian perubahan budaya masih belum berhasil menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kondisi alam wilayah negara kita.
Begitu banyak wujud kemajuan dan keuntungan sudah kita peroleh akibat perubahan kebudayaan. Namun kita tidak boleh lupa bahwa kehidupan bangsa kita menjadi lebih baik dan berkualitas tinggi karena adanya dinamika kebudayaan tetapi bisa juga kehidupan masyarakat kita mengalami kemerosotan moral dan nilai-nilai luhur akibat dinamika kebudayaan.
Parsons menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari empat subsistem yang berbeda, yang masing-masing subsistem mempunyai fungsi untuk memecahkan persoalan tertentu. Bahkan Parsons mengklaim bahwa keempat subsistem tersebut harus ada dalam suatu masyarakat jika masyarakat itu mau bertahan untuk waktu yang sangat panjang (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, 2005 : 59). Keempat subsistem tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Adaptation; adalah cara sistem beradaptasi dengan dunia material dan pemenuhan kebutuhan material untuk dapat bertahan hidup (pangan, sandang, dan papan). Aspek ekonomi sangat penting dalam subsistem ini.
2. Goal attainment; adalah pencapaian tujuan. Subsistem ini berurusan dengan hasil atau produk dari sistem dan kepemimpinan. Politik menjadi panglima dalam subsistem ini.
3. Integration; adalah penyatuan subsistem yang berkenaan dengan menjaga tatanan. Sistem hukum, lembaga-lembaga atau komunitas-komunitas yang memperjuangkan tatanan sosial termasuk dalam kelompok ini.
4. Laten pattern maintenance and tension management; mengacu kepada kebutuhan masyarakat untuk mempunyai arah panduan yang jelas dan gugus tujuan dari tindakan. Lembaga-lembaga yang ada dalam subsistem ini bertugas untuk memproduksi nilai-nilai budaya, menjaga solidaritas, dan mensosialisasikan nilai-nilai. Gereja, sekolah, dan keluarga termasuk dalam subsistem ini.
Sumber : http://budiaman21.wordpress.com/2010/08/20/dinamika-kebudayaan/
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, karena manusia adalah pendukung keberadaan suatu kebudayaan. Kebudayaan pada suatu masyarakat harus senantiasa memiliki fungsi yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan bagi para anggota pendukung kebudayaan. Kebudayaan harus dapat menjamin kelestarian kehidupan biologis, memelihara ketertiban, serta memberikan motivasi kepada para pendukungnya agar dapat terus bertahan hidup dan melakukan kegiatan-kegiatan untuk kelangsungan hidup.
Dalam jangka waktu tertentu, semua kebudayaan mengalami perubahan. Leslie White (1969) mengemukakan bahwa kebudayaan merupakan fenomena yang selalu berubah sesuai dengan lingkungan alam sekitarnya dan keperluan suatu komunitas pendukungnya. Sependapat dengan itu Haviland (1993 : 251) menyebut bahwa salah satu penyebab mengapa kebudayaan berubah adalah lingkungan yang dapat menuntut kebudayaan yang bersifat adaptif. Dalam konteks ini perubahan lingkungan yang dimaksud bisa menyangkut lingkungan alam maupun sosial.
Berkaitan dengan perubahan kebudayaan, Kingsley Davis berpendapat bahwa perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat merupakan bagian dari perubahan kebudayaan (Poerwanto, 2000 : 142). Perubahan-peribahan dalam kebudayaan mencakup seluruh bagian kebudayaan, termasuk kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat, bahkan dalam bentuk dan aturan-aturan organisasi sosial. Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas, sudah tentu ada unsur-unsur kebudayaan yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Namun demikian setiap perubahan kebudayaan tidak perlu harus mempengaruhi sistem sosial masyarakat yang sudah ada sebelumnya.
Ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih menekankan pada ide-ide yang mencakup perubahan dalam hal norma-norma dan aturan-aturan yang dijadikan sebagai landasan berperilaku dalam masyarakat. Sedangkan perubahan sosial lebih menunjuk pada perubahan terhadap struktur dan pola-pola hubungan sosial, yang antara lain mencakup sistem status, politik dan kekuasaan, persebaran penduduk, dan hubungan-hubungan dalam keluarga. Melihat unit analisis perubahan masing-masing perubahan tersebut, maka dapat dimengerti mengapa perubahan kebudayaan memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perubahan sosial.
Dinamika kebudayaan identik dengan perubahan unsur- unsur kebudayaan universal, yang apabila ditinjau dalam kenyataan kehidupan suatu masyarakat, tidak semua unsur mengalami perkembangan yang sama. Ada unsur kebudayaan yang mengalami perubahan secara cepat, ada pula yang lambat, bahkan sulit berubah. Apabila mengkaji pengertian kebudayaan menurut Antropolog Inggris Edward Burnett Tylor (Horton & Hunt, 2006 : 58) sebagai suatu kompleks keseluruhan yang meliputi pengetahuan, keyakinan, kesenian, hukum, moral, adat, semua kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh seseorang sebagai anggota masyarakat; maka tingkat perubahan unsur tersebut menjadi sangat variatif antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain.
Untuk memudahkan pengertian mengenai tingkat kesulitan perubahan unsur-unsur kebudayaan, Koentjaraningrat (2003 : 81) menguraikan 7 (tujuh) unsur kebudayaan universal yang diasumsikan memiliki tingkat perubahan dari yang paling mudah sampai yang paling sulit yaitu :
1) Sistem peralatan hidup dan teknologi
2) Sistem mata pencaharian hidup
3) Organisasi sosial
4) Kesenian
5) Sistem pengetahuan
6) Bahasa
7) Sistem religi
Perubahan kebudayaan sebagai suatu kenyataan, didasari oleh seperangkat teori yang menjelaskan analisis kausal antara konsep-konsep yang relevan. Teori-teori yang menguraikan proses perubahan sosial dan budaya antara lain (Pelly & Menanti, 1994 : 200 – 201) :
1. Teori Sosio Historis Siklus dalam asumsi dasarnya mengemukakan bahwa peradaban manusia berkembang menurut suatu lingkaran atau siklus. Tokoh-tokoh teori ini adalah Ibnu Chaldun, Arnold Toynbee, dan Sorokin.
2. Teori Sosio Historis Perkembangan atau Linear lebih optimis dibanding penganut teori Sosio Historis Siklus. Hal ini didasarkan pada kepercayaan mereka terhadap kesempurnaan kemampuan manusia; proses perkembangan peradaban manusia diasumsikan menuruti garis lurus, makin berkembang makin baik.
3. Teori Psikologi Sosial banyak memberikan sumbangan dalam perkembangan teori perubahan sosial terutama teori-teori tentang : (a) kepribadian kreatif, (b) kepribadian prestasi, dan (c) individu modern. Asumsi dasar dari teori-teori Psikologi Sosial yaitu individu-individu dengan kegiatan dan kreativitasnya akan dapat menggerakkan perubahan sosial.
B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dinamika Kebudayaan
Masyarakat akan mengatur perilaku mereka dalam hubungan dengan alam dan lingkungannya, termasuk didalamnya cara berinteraksi sosial dengan sesama anggota masyarakat maupun dengan dunia supranatural menurut kepercayaan yang diyakini. Perubahan kebudayaan dapat terjadi sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan maupun adanya mekanisme akibat munculnya penemuan-penemuan baru atau invensi, difusi, hilangnya unsur kebudayaan, dan akulturasi.
Sairin (2002 : 1) mengemukakan bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem pengetahuan, gagasan atau ide yang dimiliki oleh kelompok masyarakat yang befungsi sebagai landasan dan pedoman bagi masyarakat tersebut dalam berperilaku. Sebagai sistem pengetahuan dan gagasan, kebudayaan yang dimiliki masyarakat merupakan kekuatan yang tidak tampak atau invisible power yang mampu mengarahkan manusia pendukung kebudayaan itu untuk bersikap dan berperilaku sesuai dengan pengetahuan dan gagasan yang menjadi milik bersama, bauik di bidang ekonomi, sosial, politik, kesenian, dan sebagainya. Oleh karena itu, kebudayaan bukan hanya terbatas pada kegiatan kesenian, peninggalan sejarah, atau upacara-upacara tradisional seperti yang dipahami oleh banyak kalangan selama ini.
Lebih jauh Sairin (2002 : 2) mengemukakan bahwa sebagai suatu sistem, kebudayaan tidak diperoleh manusia dengan begitu saja, tetapi melalui proses belajar yang berlangsung tanpa henti sejak manusia dilahirkan sampai ajal menjelang. Proses belajar dalam konteks ini, bukan hanya dalam bentuk proses internalisasi dari sistem pengetahuan yang diperoleh melalui pewarisan atau transmisi dalam keluarga, lewat sistem pendidikan formal di sekolah, atau lembaga pendidikan formal lainnya, tetapi juga diperoleh melalui proses belajar dari berinteraksi dengan lingkungan alam dan sosialnya.
Belajar merupakan kata kunci dalam membicarakan transmisi kebudayaan. Konsep ini sangat penting kedudukannya dalam menganalisis berbagai masalah kebudayaan, karena memberikan petunjuk yang jelas bahwa manusia buksnlsh mshluk ysng statis dan dapat diperlakukan semena-mena, tetapi manusia adalah mahluk yang berakal, berpikir, dan melakukan penilaian sebelum memutuskan untuk bersikap pada sesuatu yang dihadapinya. Akal yang dimiliki manusia merupakan alat utama dalam menyaring, memahami, dan mempertimbangkan berbagai masukan yang diterima dari alam sekitarnya sebelum mengambil keputusan dalam bersikap terhadap sesuatu.
Dalam konteks yang lebih sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami secara sosial oleh para anggota masyarakat. Seseorang menerima kebudayaan sebagai bagian dari warisan sosial dan pada gilirannya, bisa membentuk kebudayaan kembali dan mengenalkan perubahan-perubahan yang kemudian menjadi bagian dari warisan generasi yang berikutnya (Horton & Hunt, 2006 : 58).
Selain karakteristik kebudayaan diperoleh melalui prose belajar, salah satu karakteristik lain dari kebudayaan yaitu sifat dinamis. Kebudayaan selalu berubah dan menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat. Sifat manusia yang tidak pernah puas dalam upaya pemenuhan kebutuhan yang semakin bermutu dan bervariasi menyebabkan manusia berupaya untuk membuat inovasi-inovasi baru. Berbagai unsur kebudayaan masyarakat Indonesia pada 25 tahun yang lalu, tanpa terasa sudah berubah pada saat-saat ini. Perubahan tersebut bukan semata-mata terjadi pada aspek kebudayaan materil melainkan juga pada aspek immateril.
Menurut Poerwanto (2000 : 143) sebab umum terjadinya perubahan kebudayaan lebih banyak dari adanya ketidakpuasan masyarakat, sehingga masyarakat berusaha mengadakan penyesuaian. Penyebab perubahan bisa saja bersumber dari dalam masyarakat, dari luar masyarakat atau karena faktor lingkungan alam sekitarnya. Faktor perubahan yang bersumber dari dalam masyarakat antara lain adalah :
1. Faktor demografi; yaitu bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk. Sebagai gambaran pertambahan penduduk yang saangat cepat di pulau Jawa menyebabkan perubahan struktur kemasyarakatan, terutama yang berkaitan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemahaman terhadap hak atas tanah, sistem gadai tanah, dan sewa tanah yang sebelumnya tidak dikenal secara luas. Perpindahan penduduk atau migrasi menyebabkan berkurangnya jumlah penduduk di suatu daerah, sehingga banyak lahan yang tidak terurus dan lembaga-lembaga kemasyarakatan akan terpengaruh. Pengaruh akibat migrasi yang akan terlihat secara langsung adalah dalam sistem pembagian kerja dan stratifikasi sosial.
2. Penemuan baru; proses perubahan yang besar pengaruhnya tetapi terjadi dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama disebut sebagai inovasi. Proses tersebut meliputi suatu penemuan baru, masuknya unsur kebudayaan baru yang terebar ke berbagai bagian masyarakat. Penemuan baru dibedakan dalam dua pengertian, yaitu Discovery dan Invention.
Discovery adalah penemuan daru suatu unsur kebudayaan yang baru, baik berupa suatu alat atau pun berupa ide-ide baru yang diciptakan oleh seseorang atau bisa juga merupakan rangkaian ciptaan dari individu-individu dalam suatu masyarakat. Discovery baru akan menjadi invention bila masyarakat sudah mengakui, menerima, serta menerapkan penemuan baru yang ada. Penemuan-penemuan baru dapat tercipta bila ada kondisi yang menjadi stimulus, seperti :
a. Kesadaran dari individu akan adanya kekurangan dalam kebudayaan mereka
b. Kualitas ahli-ahli dalam satu kebudayaan yang terus mencari pembaharuan
3. Pertentangan atau konflik dalam masyarakat; dapat menjadi sebab timbulnya perubahan kebudayaan. Pertentangan yang terjadi bisa antara orang perorangan, perorangan dengan kelompok, atau kelompok dengan kelompok. Sebagai contoh pertentangan antar kelompok yaitu pertentangan antara generasi tua dengan generasi muda. Pertentangan antar generasi kerapkali terjadi pada masyarakat-masyarakat yang sedang berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern.
4. Pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri; perubahan yang terjadi sebagai akibat revolusi merupakan perubahan besar yang mempengaruhi seluruh sistem lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Soekanto (1994 : 330 – 332) menyatakan bahwa selain pengaruh besar yang berasal dari dalam masyarakat, ada pula pengaruh yang datang dari luar masyarakat, seperti :
1. Dari lingkungan alam fisik di sekitar manusia seperti banjir, gempa bumi, tanah longsor yang menyebabkan manusia seringkali harus berpindah tempat tinggal dan menyesuaikan diri dengan tempat tinggal yang baru. Contoh pada masyarakat pantai yang tertimpa musibah tsunami, semula mata pencaharian sebagai nelayan, ketika mereka harus pindah tempat tinggal di daerah dataran tinggi, maka mereka harus belajar hidup dari kegiatan pertanian.
2. Peperangan dengan negara lain bisa menyebabkan negara taklukan harus bersedia menerima kebudayaan yang dianggap lebih tinggi derajatnya oleh negara penguasa. Contoh : Jepang setelah kalah dalam Perang Dunia II mngalami perubahan, dari bentuk negara agraris-militer menjadi negara industri.
3. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua kelompok masyarakat atau lebih, mempunyai kecenderungan menimbulkan pengaruh timbal balik bagi masing-masing kebudayaan.
Perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat senantiasa melalui tahapan beberapa bentuk proses. Proses perubahan kebudayaan sangat ditentukan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, antara lain (Ibid, 333 – 337) :
1) Adanya kontak dengan kebudayaan lain atau diffusi. Proses ini merupakan penyebaran unsur-unsur kebudayaan dari individu ke individu lain atau dari satu masyarakat ke satu masyarakat yang lain.
2) Sistem pendidikan formal yang maju. Pendidikan memberikan suatu nilai-nilai tertentu bagi manusia, untuk menguasai berbagai ilmu dan pengetahuan, juga mengajarkan bagaimana manusia bisa berfikir secara oyektif, sehingga mampu menilai kebudayaan masyarakatnya apakah dapat memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan zaman atau tidak.
3) Sikap menghargai hasil karya seseorang serta keinginan-keinginan untuk maju.
4) Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang (deviasi) tetapi bukan yang bersifat kriminal.
5) Stratifikasi sosial masyarakat yang bersifat terbuka, sehingga nenberikan kesempatan kepada seseorang untuk maju dan mendapatkan kedudukan sosial yang lebih tinggi.
6) Penduduk yang heterogen. Masyarakat-masyarakat yang terdiri dari kelompok-kelompok sosial yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda akan mempermudah terjadinya kegoncangan budaya, dan selajutnya menjadi pendorong bagi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat.
7) Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu.
8) Orientasi ke masa depan dan adanya nilai-nilai bahwa manusia harus senantiasa memperbaiki kulitas hidup.
C. Implikasi Dinamika Kebudayaan Dalam Masyarakat
Masyarakat dan kebudayaan saling ketergantungan satu sama lain. Masyarakat tidak mungkin merupakan satu kesatuan fungsional tanpa kebudayaan, demikian sebaliknya. Atas daar hubungan fungsional inilah maka dalam masyarakat tercipta Esprit de corps dan para anggotanya dapat hidup dan bekerjasama dalam sgala aspek kehidupan (Linton, 1984 : 195).
Dinamika kebudayaan di dalam masyarakat terjadi melalui serangkaian proses yang memerlukan waktu dan membawa konsekuensi logis terhadap berbagai bidang kehidupan masyarakat. Kebudayaan merupakan suatu sistem yang menjadi penopang dan pengatur keberadaan suatu masyarakat, sehingga harus senantiasa dalam kondisi dinamis. Selain itu, kebudayaan juga harus mampu bersifat adaptif, selalu menyesuaikan diri terhadap lingkungan biogeofisik maupun lingkungan sosial-budaya para pendukung kebudayaan.
Peran individu-individu sebagai anggota masyarakat menjadi sangat strategis dalam mengantisipasi perubahan kebudayaan, meskipun partisipasi yang diberikan belum tentu sempurna. Berbagai analisis yang bisa dilakukan, terutama pada masyarakat dengan kebudayaan yang homogen adalah ditemukannya paling tidak 3 (tiga) kategori tingkat kesulitan, yaitu :
1. Ada ide-ide kebiasaan dan tanggapan bersyarat yang sama bagi semua anggota masyarakat. Kategori ini merangkum asosiasi dan nilai-nilai yang sebagian besar berada di bawah sadar, tetapi yang sebenarnya merupakan bagian integral dari kebudayaan.
2. Ada unsur-unsur kebudayaan yang hanya dinikmati oleh para anggota, yang termasuk didalam kategori individu-individu tertentu yang mendapat pengakuan sosial di dalam masyarakat. Kategori ini termasuk : pola-pola yang mengatur aktivitas yang beraneka ragam tetapi saling berhubungan dan berlaku bagi berbagai kelompok dari masyarakat di dalam pembagian kerja.
3. Ada sejumlah unsur-unsur yang hanya dinikmati oleh individu-individu tertentu, tetapi dapat diakatakan asing bagi seluruh anggota masyarakat atau asing juga bagi semua anggota dari setiap kategori individu-individu yang mendapat pengakuan sosial.
Menurut Parsons sebagaimana dikutip Poerwanto (2000: 153), setiap perubahan budaya akan menimbulkan ketidakseimbangan terhadap nilai-nilai budaya dan sistem sosial masyarakat yang sudah lebih dahulu ada. Namun pada gilirannya akan tercipta pula serangkaian upaya yang berfungsi untuk menjaga terciptanya keseimbangan nilai-nilai budaya dari para pendukung kebudayaan.
Berbagai perubahan sosial dan kebudayaan akan membawa akibat menguntungkan dan merugikan bagi masyarakat. Jika suatu perubahan terjadi, maka masyarakat pendukungnya harus siap melakukan modifikasi pola tingkah laku. Sebagaimana dikemukakan oleh Sahlins dalam Poerwanto (2000: 140), bahwa dalam menghadapi lingkungan fisik, manusia cenderung melakukan pendekatan budaya dalam bentuk sistem simbol, makna dan sistem nilai.
Implikasi dinamika kebudayaan seharusnya bertujuan untuk menciptakan perbaikan kualitas hidup bagi semua anggota masyarakat. Perubahan sosial dan kebudayaan yang terjadi hendaknya membuat masyarakat dapat menikmati hidup yang layak. Bila kita perhatikan, perubahan budaya lebih mengarah pada upaya menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas, dan terampil dalam era persaingan global.
Mengetahui laju pertumbuhan ekonomi bangsa kita yang mulai banyak bergerak dalam bidang industri, seharusnya pemerintah tetap mengupayakan keseimbangan lahan usaha dengan konservasi alam dan pemukiman penduduk. Namun sangat disayangkan, lahan untuk konservasi alam semakin sempit. Dengan demikian perubahan budaya masih belum berhasil menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dengan kondisi alam wilayah negara kita.
Begitu banyak wujud kemajuan dan keuntungan sudah kita peroleh akibat perubahan kebudayaan. Namun kita tidak boleh lupa bahwa kehidupan bangsa kita menjadi lebih baik dan berkualitas tinggi karena adanya dinamika kebudayaan tetapi bisa juga kehidupan masyarakat kita mengalami kemerosotan moral dan nilai-nilai luhur akibat dinamika kebudayaan.
Parsons menyatakan bahwa masyarakat tersusun dari empat subsistem yang berbeda, yang masing-masing subsistem mempunyai fungsi untuk memecahkan persoalan tertentu. Bahkan Parsons mengklaim bahwa keempat subsistem tersebut harus ada dalam suatu masyarakat jika masyarakat itu mau bertahan untuk waktu yang sangat panjang (Mudji Sutrisno & Hendar Putranto, 2005 : 59). Keempat subsistem tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Adaptation; adalah cara sistem beradaptasi dengan dunia material dan pemenuhan kebutuhan material untuk dapat bertahan hidup (pangan, sandang, dan papan). Aspek ekonomi sangat penting dalam subsistem ini.
2. Goal attainment; adalah pencapaian tujuan. Subsistem ini berurusan dengan hasil atau produk dari sistem dan kepemimpinan. Politik menjadi panglima dalam subsistem ini.
3. Integration; adalah penyatuan subsistem yang berkenaan dengan menjaga tatanan. Sistem hukum, lembaga-lembaga atau komunitas-komunitas yang memperjuangkan tatanan sosial termasuk dalam kelompok ini.
4. Laten pattern maintenance and tension management; mengacu kepada kebutuhan masyarakat untuk mempunyai arah panduan yang jelas dan gugus tujuan dari tindakan. Lembaga-lembaga yang ada dalam subsistem ini bertugas untuk memproduksi nilai-nilai budaya, menjaga solidaritas, dan mensosialisasikan nilai-nilai. Gereja, sekolah, dan keluarga termasuk dalam subsistem ini.
Sumber : http://budiaman21.wordpress.com/2010/08/20/dinamika-kebudayaan/
Bahasa dan Dialek
- Konsep Bahasa
Secara literer, bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh anggota suatu masyarakat untuk bekerjasama, berinteraksi, dan megidentifikasikan diri
Adapun fungsi bahasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu fungsi secara umum dan fungsi secara khusus.
Fungsi bahasa secara umum adalah:- Sebagai alat komunikasi
- Sebagai alat ekspresi
- Sebagai alat untuk adaptasi dan integrasi sosial
Fungsi bahasa secara khusus adalah:- Untuk tujuan praktis
- Untuk tujuan artistik
- Untuk tujuan filosofis
- Untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lain
- Konsep Dialek
Dialek adalah variasi dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif yang berada pada sutu tempat, wilayah, atau area tertentu. Dengan kata lain, dialek adalah karagaman cara pengucapan atau gaya penggunaan bahasa.
Perbedaan dialek dapat disebabkan karena perbedaan asal daerah dan perbedaan status sosial.oleh karena itu, dialek dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:- Dialek daerah adalah perbedaan dialek yang didasarkan pada perbedaan daerah suatu bahasa yang digunakan. Misalnya dialek bahasa Jawa Banyumasan, dialek bahasa Jawa Timuran, dan dialek bahasa Jawa Surakarta dan Yogyakarta.
- Dialek sosial adalah dialek yang didasarkan pada perbedaan status
sosial yang ada di dalam masyarakat tersebut. Misalnya: perbedaan dialek
antara bahasa Jawa Ngoko dengan bahasa Jawa Kromo disebabkan perbedaan
status sosial masyarakat penutur dua dialek bahasa tersebut
¨ 1. Bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas di kantorKantor adalah suatu tempat pelayanan masyarakat yang di dalamnya terdapat pimpinan, pembantu pimpinan, dan staf ( karyawan) serta masyarakat yang membutuhkan pelayanan di tempat tersebut.
Misalnya;
Bank, di dalamnya ada direktur, wakil direktur, karyawan, dan nasabah bank Sekolah, di dalamnya ada kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, penjaga sekolah, dan murid¨
2. Bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas di pasar - Pasar adalah suatu tempat pelayanan umum yang di dalamnya terdapat penjual, pembeli, pengangkut barang, petugas kebersihan, dan sabagainya. Jadi komunitas masyarakat di pasar lebih bervariasi, baik itu pekerjaan, pendidikan, usia, pakaian yang dikenakan, dan sebagainya.
- Ciri bahasa dan dialek yang digunakan di pasar adalah sebagai berikut:
Bahasa dan dialek yang digunakan adalah bahasa yang non formal/ tidak resmi/ karena bahasa lokal di daerah setempat
Bahasa dan dialeknya singkat dan kurang jelas - Contoh bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas kantor
Misal di Pasar Johar Semarang ( Jawa Tengah), komunitas masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa. - Contoh dialog antara penjual dan pembeli dengan menggunakan bahasa Jawa
Pembeli : “ Endhoge sekilo regane pira?”
(Telornya satu kilogram harganya berapa)
Penjual : “ Wolongewu limangatus rupiah, Bu?”
(Delapan ribu lima ratus rupiah, Bu)
- Terminal adalah tempat pemberhentian dan pemberangkatan angkutan umum bus dari dan berbagai jurusan. Di dalam lingkungan terminal terdapat kepala terminal, petugas, administrasi, kebersihan, dan keamanan. Juga ada awak bus (sopir, kernet, dan kondektur), penumpang, pedagang di kios, pedagang asongan, pengamen, dan pengemis.
- Ciri bahasa dan dialek yang digunakan di terminal adalah sebagai berikut:
Bahasa dan dialek yang digunakan adalah bahasa yang non formal/ tidak resmi/ bahasa lokal di daerah setempat
Bahasa dan dialeknya bervariatif/ bermacam-macam, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa daerah - Contoh bahasa dan dialek yang digunakan oleh komunitas terminal
Misal: Komunitas masyarakat di terminal Lebak Bulus Jakarta menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah (Sunda dan Betawi)
Sabtu, 25 Mei 2013
DINAMIKA KEBUDAYAAN
PROSES PERUBAHAN KEBUDAYAAN
Faktor – faktor pendorong perubahan kebudayaan dapat dibagi atas :
aa. Faktor
– faktor dari dalam kebudayaan masyarakat itu sendiri (faktor – faktor
intern) yaitu penemuan (discovery) dan pendapatan ( invention )
bb. Faktor
– faktor dari luar kebudayaan masyarakat tersebut (faktor – faktor
ekstern) yaitu difusi kebudayaan,akulturasi dan asimilasi.
PENEMUAN DAN PENDAPATAN
Pada
bagian pembicaraan terbentuknya kebudayaan, penemuan dan pendapatan
telah diuraikan. Pada bagian ini keduanya disinggung pula,karena hal –
hal tersebut merupakan pula pendorong perubahan kebudayaan. Di bagian
muka telah disebutkan bahwa dengan penemuan dan pendapatan terjadilah
suatu unsur kebudayaan baru, yang mendorong untuk perkembangan
selanjutnya.
DIFUSI KEBUDAYAAN
Perubahan
kebudayaan terjadi pula dengan adanya difusi kebudayaan. Difusi
kebudayaan merupakan penyebaran sesuatu unsur kebudayaan dari satu
masyarakat ke masyarakat lain. Sebenarnya difusi terjadi pula di dalam
lingkungan satu masyarakat (difusi intra masyarakat), tetapi yang lebih
banyak mendapati perhatian di dalam antropologi ialah difusi yang
berlangsung dari satu masyarakat ke masyarakat yang lain (difusi inter
masyarakat)
Difusi
kebudayaan berlangsung melalui berbagai bentuk yang berlainan, misalnya
melaui perpindahan bangsa – bangsa pada zaman dahulu atau melalui
perseorangan seperti pedagang , pelaut dan penyebar agama. Difusi
kebudayaan dapat pula berlangsung diantara dua kelompokk masyarakt yang
tinggal bertetangga.
Cara
suatu unsur kebudayaan masuk dalam suatu kebudayaan masyarakat penerima
juga terjadi dengan berbagai macam. Pertama dapat dengan jalan damai
dan memajukkan kebudayaan penerima (penetration pacifique). Yang kedua
melalui jalan peperangan dan penjajahan,misalnya sehingga masuknya
dengan cara merusak dan dapat menimbulkan gangguan pada kebudayaan
masyarakat yang dijajah (penetration violente). Cara yang ketiga dalah
dengan jalan hidup berdampingan tanpa saling merugikan malahan mungkin
menguntungkan (syimbiotic),seperti dapat terjadi pada suku – suku bangsa
atau bangsa yang hidup bertetangga dan hidup berdampingan.
AKULTURASI
Perubahan kebudayaan dapat berlangsung dengan terjadinya proses akulturasi. Akulturasi akan terjadi apabila
suatu unsur kebudayaan tertentu dari masyarakat satu berhadapan dengan
unsur – unsur kebudayaan dari masyarakat lain,sehingga lambat laun unsur
– unsur kebudayaan asing itu diserap ke dalam kebudayaan penerima tanpa
menghilangkan kepribadian kebudayaan penerima.
Mengingat
bahwa akulturasi akan terjadi apabila dua kelompok masyarakat yang
berbeda kebudayaannya berhadapan satu sama lain,maka tidaklah sukar
untuk kiranya untuk mengatakan bahwa akulturasi sudah berlangsung sejak
zaman dahulu sekali, dan juga terjadi di antara bansa mana saja. Tetapi
karena pengaruhnya dalam proses akulturasi itu ialah masuknya unsur –
unsur kebudayaan Eropa dan Amerika Serikat maka seringkali akulturasi
diartikan sebagai terpengaruhnya kebydayaan bangsa – bangsa di Asia,
Afrika dan tempat lainnya di luar Eropa –Amerika Serikat oleh masuknya
unsur – unsur kebudayaan Eropa Amerika Serikat. Bahkan seringkali pula
diartikan sebagai terpengaruhnya kebudayaan masyarakat sederhan oleh
unsur – unsur kebudayaan Eropa – Amerika Serikat.
Hal
tersebut diatas mudah di pahami karena sampai belum lama berselang,
orang- orang Eropa dan Amerika Serikat bertebaran hampir ke seluruh
penjuru dunia.Banyak negara di Eropa tersebut akhirnya justru menjadi
penjajah dio wilayah – wilayah Asia-Afrika dan daerah lainnya. Karena
itulah tidak mengherankan apabila proses akulturasi merupakan bahan
penyelidikan mereka yang penting. Mereka sebagai penjajah sudah barang
tentu ingin menanamkan kekuasaanya agar lebih kokoh,teratur dan mantap.
ASIMILASI
Asimilasi
merupakan proses lebih lanjut proses akulturasi. Akulturasi pada
dasarnya merupakan proses penerimaan dan peminjaman hal baru kebudayaan
yang satu oleh yang lain. Dengan sendirinya akulturasi mendekatkan kedua
kelompok yang berhadapan itu. Hanya tidak selamanya menimbulkan
pemesraan antara keduanya. Dalm proses akulturasi peristiwa saling
mendekati itu tidak lengkap. Asimilasi akan terjadi pada kelompok
masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda, hidup berdampingan, sehingga
anggota dari kelompok tadi dapat bergaul sesamanya secara langsung dan
akrab dalam waktu yang lama, yang memungkinkan kebudayaan kelompok
tersebut saling berusaha mendekati satu sama lain dan lambat laun
menjadi satu. Jadi, dalam proses asimilasi terjadi unsur – unsur
kebudayaan baru yang tidak serupa dengan unsur – unsur lama.
Proses
asimilasi rupa-rupanya tidak selamanya berlangsung dengan mudah. Untuk
itu diperlukan bebrapa syarat di antaranya adanya saling menghargai dan
rasa tenggang rasa. Sedangkan penghalang asimilasi di antaranya ialah :
a) Kurang mengenal kebudayaan fihak lain
b) Rasa takut atau curiga terhadap kebudayaan fihak lain
c) Perasaan diri lebih unggul terhadap fihak lain.
Jumat, 24 Mei 2013
Ras Manusia di Dunia
1. Ras Australoid
Ras Australoid adalah nama ras manusia yang mendiami bagian selatan
India, Srilanka, beberapa kelompok di Asia Tenggara, Papua, Kepulauan
Melanesia dan Australia. Untuk kelompok di Asia Tenggara, orang asli di
Malaysia dan orang Negrito di Filipina termasuk ras ini. Sebelum Ras
Mongoloid tiba di Nusantara, Ras Australoid merupakan ras dominan yang
tersebar diseluruh pulau, samapi terdesak ke bagian timur Nusantara.
Ciri khas utama ras ini ialah bahwa mereka berambut keriting hitam
dan berkulit hitam. Namun beberapa anggota ras ini di Australia berambut
pirang dan rambutnya tidaklah keriting melainkan lurus. Selain itu
beberapa orang asli di Malaysia kulitnya juga tidak selalu hitam dan
bahkan menjurus putih.
2. Ras Kaukasoid
Ras Kaukasoid adalah ras manusia yang sebagian besar menetap di
Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, Pakistan, dan India Utara. Keturunan
mereka juga menetap di Australia, Amerika Utara, sebagian dari Amerika
Selatan, Afrika Selatan dan Selandia Baru.
Anggota ras Kaukasoid biasa disebut “berkulit putih”, namun ini tidak
selalu benar. Oleh beberapa pakar misalkan orang Ethiopia dan orang
Somalia dianggap termasuk ras Kaukasoid, meski mereka berambut keriting
dan berkulit hitam, mirip dengan anggota ras Negroid. Namun mereka
tengkoraknya lebih mirip tengkorak anggota ras Kaukasoid.
3. Ras Khoisan / Kapoid
Ras Khoisan adalah ras manusia yang mendiami daerah barat daya
Afrika, terutama di Namibia, Botswana, dan Afrika Selatan. Meski jumlah
anggota ras ini tinggal beberapa ratus ribu, ras ini adalah ras yang
sangat menarik sebab dianggap ras tertua atau cabang pertama yang
berpisah dari ras utama manusia lainnya. Varietas DNA ibu (mitochondrial DNA) sangat beragam. Meski begitu mereka tidaklah “lebih primitif” daripada manusia lainnya.
4. Ras Mongoloid
Ras Mongoloid adalah ras manusia yang sebagian besar menetap di Asia
Utara, Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar di lepas pantai timur
Afrika, beberapa bagian India Timur Laut, Eropa Utara, Amerika Utara,
Amerika Selatan dan Oseania. Anggota ras Mongoloid biasa disebut
“berkulit kuning”, namun ini tidak selalu benar. Misalkan orang Indian
di Amerika dianggap berkulit merah dan orang Asia Tenggara seringkali
berkulit coklat muda sampai coklat gelap.
Ciri khas utama anggota ras ini ialah rambut berwarna hitam yang
lurus, bercak mongol pada saat lahir dan lipatan pada mata yang
seringkali disebut mata sipit. Selain itu anggota ras manusia ini
seringkali juga lebih kecil dan pendek daripada ras Kaukasoid.
5. Ras Negroid
Ras Negroid adalah ras manusia yang terutama mendiami benua Afrika di
sebelah selatan gurun sahara. Keturunan mereka banyak mendiami Amerika
Utara, Amerika Selatan dan juga Eropa serta Timur Tengah.
Ciri khas utama anggota ras negroid ini ialah kulit yang berwarna
hitam dan rambut keriting. Meski begitu anggota ras Khoisan dan ras
Australoid, meski berkulit hitam dan berambut keriting tidaklah termasuk
ras manusia ini.
6. Ras Campuran
Campuran Indonesia-Belanda
Campuran Indonesia – Jerman
Indonesia – Inggris
Unsur Kebudayaan
Pengetian Kebudayaan dan Peradaban
Menurut Ki Hajar Dewantara: “Kebudayaan adalah
buah budi manusia dalam hidup bermasyarakat” sedangkan menurut
Koentjaraningrat, guru besar Antropologi di Universitas Indonesia:
“Kebudayaan adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan cara belajar”.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. kebudayaan itu hanya dimiliki oleh masyarakat manusia;
2. kebudayaan itu tidak diturunkan secara biologis melainkan diperoleh melalui proses belajar; dan
3. kebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
1. Sistem kepercayaan
Sejalan dengan perkembangan kehidupan manusia,
maka masyarakat Indonesia sebelum adanya pengaruh Hindu-Buddha juga
telah mempercayai adanya kekuatan di luar diri mereka. Hal ini juga
tidak terlepas dari kehidupan mereka.
yang berladang dan bersawah. Kehidupan ini hanya dapat berjalan dalam masyarakat yang sudah teratur, yang telah mengetahui hak dan kewajibannya. Ini berarti telah ada organisasi dan yang menjadi pusat organisasi ialah desa dan ada aturan-aturan yang harus dipatuhi bersama. Dalam suasana untuk saling memahami, saling menghargai, tolong menolong dan bertanggung jawab, maka muncullah faktor baru, yakni pemimpin (ketua desa/datuk). Yang memegang pimpinan adalah ketua adat, yang dianggap memiliki kelebihan dari yang lain. Ia harus melindungi anggotanya dari serangan kelompok lain, atau ancaman binatang buas sehingga tercipta kemakmuran, kesejahteraan dan ketentraman. Pemimpin bekerja untuk kepentingan seluruh desa, maka masyarakat berhutang budi kepada pemimpinnya. Sifat kerja sama antara rakyat dan pemimpinnya membentuk persatuan yang kuat, memunculkan kepercayaan, yakni memuja roh nenek moyang, memuja roh jahat dan roh baik bahkan mereka percaya bahwa tiap-tiap benda memiliki roh. Dengan demikian muncullah Animisme, Dinamisme, dan Totemisme.
a. Animisme
kepercayaan yang memuja arwah dari nenek moyang
b. Dinamisme
kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak dan keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci.
c. Totemisme
kepercayaanmenghormati binatang-binatang tertentu untuk dipuja dan dianggapnya seketurunan
yang berladang dan bersawah. Kehidupan ini hanya dapat berjalan dalam masyarakat yang sudah teratur, yang telah mengetahui hak dan kewajibannya. Ini berarti telah ada organisasi dan yang menjadi pusat organisasi ialah desa dan ada aturan-aturan yang harus dipatuhi bersama. Dalam suasana untuk saling memahami, saling menghargai, tolong menolong dan bertanggung jawab, maka muncullah faktor baru, yakni pemimpin (ketua desa/datuk). Yang memegang pimpinan adalah ketua adat, yang dianggap memiliki kelebihan dari yang lain. Ia harus melindungi anggotanya dari serangan kelompok lain, atau ancaman binatang buas sehingga tercipta kemakmuran, kesejahteraan dan ketentraman. Pemimpin bekerja untuk kepentingan seluruh desa, maka masyarakat berhutang budi kepada pemimpinnya. Sifat kerja sama antara rakyat dan pemimpinnya membentuk persatuan yang kuat, memunculkan kepercayaan, yakni memuja roh nenek moyang, memuja roh jahat dan roh baik bahkan mereka percaya bahwa tiap-tiap benda memiliki roh. Dengan demikian muncullah Animisme, Dinamisme, dan Totemisme.
a. Animisme
kepercayaan yang memuja arwah dari nenek moyang
b. Dinamisme
kepercayaan bahwa pada benda-benda tertentu baik benda hidup atau mati bahkan juga benda-benda ciptaan (seperti tombak dan keris) mempunyai kekuatan gaib dan dianggap bersifat suci.
c. Totemisme
kepercayaanmenghormati binatang-binatang tertentu untuk dipuja dan dianggapnya seketurunan
2. Sistem kemasyarakatan atau organisasi social
Pada masa berburu dan mengumpulkan makanan,masyarakatnya
hidup berkelompok-kelompok dalam jumlah yang kecil. Tetapi hubungan
antara kelompoknya sudah erat karena mereka harus bersama-sama
menghadapi kondisi alam yang berat,sehingga system kemasyarakatan yang
muncul saat itu sangat sederhana.
Tetapi pada masa bercocok tanam,kehidupan
masyarakat yang sudah menetap semakin mengalami perkembangan dan hal
inilah mendorong masyarakat untuk membentuk keteraturan hidup.
Selanjutnya sistem kemasyarakatan terus
mengalami perkembangan khusunya pada masa perundagian. Karna pada masa
ini kehidupan masyarakat lebih kompleks. Masyarakat terbagi-bagi menjadi
kelompok-kelompok sesuai bidang keahliannya.
3. Sistem pengetahuan
Sejak zaman Neolithikum,
masyarakat Indonesia telah mengenal pengetahuan yang tinggi, dimana
masyarakat telah dapat memanfaatkan angin musim sebagai tenaga penggerak
dalam aktivitas perdagangan dan pelayaran juga mengenal astronomi atau
ilmu perbintangan sebagai petunjuk arah pelayaran atau sebagai petunjuk
waktu dalam bidang pertanian.
Selain berkembangnya ilmu pengetahuan,
teknologi, juga dikenal oleh masyarakat prasejarah terutama pada zaman
perundagian, yaitu teknologi pengecoran logam sehingga pada masa
perundagian masyarakat sudah mampu menghasilkan alat-alat kehidupan yang
terbuat dari logam.
4. Bahasa
5. Kesenian
Kesenian dikenal oleh masyarakat
prasejarah pada zaman mesolithikum yang dibuktikan dengan adanya
lukisan-lukisan pada dinding-dinding gua. Untuk selanjutnya kesenian
mengalami perkembangan yang pesat pada zaman neolithikum, karena pada
masa bercocok tanam terdapat waktu senggang dari menanam hingga panen.
Yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyalurkan jiwa seni, dari seni
membatik, gamelan, bahkan wayang.
Secara historis, seni lukis sangat terkait dengan gambar. Peninggalan-peninggalan prasejarah memperlihatkan bahwa sejak ribuan tahun yang lalu, nenek moyang manusia telah mulai membuat gambar pada dinding-dinding gua untuk mencitrakan bagian-bagian penting dari kehidupan. Sebuah lukisan atau gambar bisa dibuat hanya dengan menggunakan materi yang sederhana seperti arang, kapur, atau bahan lainnya. Salah satu teknik terkenal gambar prasejarah yang dilakukan orang-orang gua adalah dengan menempelkan tangan di dinding gua, lalu menyemburnya dengan kunyahan dedaunan atau batu mineral berwarna. Hasilnya adalah jiplakan tangan berwana-warni
di dinding-dinding gua yang masih bisa dilihat hingga saat ini.
Kemudahan ini memungkinkan gambar (dan selanjutnya lukisan) untuk
berkembang lebih cepat daripada cabang seni rupa lain seperti seni patung dan seni keramik.
6. Sistem mata pencaharian hidup
Masa Berburu dan Mengumpulkan Makanan
Pada masa ini secara fisik manusia masih
terbatas usahanya dalam menghadapikondisi alam. Tingkat berpikir manusia
yang masih rendah menyebabkan hidupnya berpindah-pindah tempat dan
menggantungkan hidupnya kepada alam dengan cara berburu dan mengumpulkan
makanan.
Masa Bercocok Tanam
Pada masa ini kemampuan berpikir manusia mulai
berkembang. Sehingga timbul upaya menyiapkan persediaan bahan makanan
yang cukup dalam suatu masa tertentu. Dari upaya tersebut maka manusia
bercocok tanam dan tidak lagi tergantung kepada alam.
Masa Perundagian
Pada masa ini masyarakat sudah mengenal
teknik-teknik pengolahan logam. Pengolahan logam memerlukan suatu tempat
serta keahlian khusus. Tempat untuk mengolah logam dikenal dengan nama
perundagian dan orang yang ahli mengerjakannya dikenal dengan sebutan
Undagi.
7. Sistem peralatan hidup
Zaman Batu
Zaman batu adalah suatu periode ketika
peralatan hidup manusia secara dominan terbuat dari batu, Zaman batu
terbagi atas zaman batu tua, zaman batu madya, zaman batu baru, dan
zaman batu besar.
a. Zaman Batu Tua (Paleolithikum)
- Kapak genggam atau kapak perimbas berfungsi untuk menggali umbi, memotong, dan menguliti binatang. Kapak perimbas berfungsi untuk merimbas kayu, memecah tulang, dan sebagai senjata,
- Alat-alat dari tulang dan tanduk binatang berfungsi sebagai alat penusuk, pengorek, dan tombak.
- Alat serpih (flakes) Biasanya digunakan untuk mengiris daging atau memotong umbi-umbian dan buah-buahan.
b. Zaman Batu Madya (Mesolithikum)
Pada zaman ini alat-alat dari batu sudah mulai digosok, tetapi belum halus.
- Kapak Sumatra (pebble).
- Batu Pipisan digunakan untuk menggiling makanan, menghaluskan cat merah (seperti Nampak dari bekas-bekasnya).
- Kjokkenmoddinger adalah sampah daur (bahasa Denmark) kjokken = dapur, modding = sampah. Sampah ini berwujud kulit siput dan kerang yang menumpuk ribuan tahun sehingga membentuk bukit, tingginnya karang-karang mencapai 7 meter dan sudah menjadi fosil
- Abris Sous Roche adalah tempat tinggal zaman prasejarah yang berwujud goa-goa dan ceruk-ceruk di dalam batu karang untuk berlindung. Dari goa ini berhasil ditemukan beberapa artefak atau peninggalan prasejarah, misalnya: flakes, ujung anak panah, alat-alat dari tulang , tanduk rusa, alat-alat dari perunggu dan besi juga fosil dari manusia Papua Melanesoid.
c. Zaman Batu Baru (Neolithikum)
Pada zaman neolithikum, peralatan dari batu
sudah digosok halus karena mereka sudah mengenal teknik mengasah dan
mengupam. Peralatan itu antara lain sebagai berikut.
- Kapak persegi untuk mengerjakan kayu.
- Kapak bahu adalah kapak persegi, namun pada tangkai diberi “leher” sehingga menyerupai bentuk botol persegi.
- Kapak lonjong adalah kapak dengan penampang berbentuk lonjong atau bulat telur. Kapak lonjong banyak disebut sebagai kapak Irian karena banyak ditemukan di Irian (Papua).
Adapun benda-benda lain dari zaman neolithikum adalah sebagai berikut.
- Perhiasan ,
- Tembikar
- Pakaian
d. Zaman Batu Besar (Megalithikum)
- Menhir, digunakan sebagai media untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang.
- Dolmen digunakan untuk meletakkan sesajian dan pemujaan kepada nenek moyang. Ada pula sebagai tempat menguburkan mayat.
- Sarkofagus atau Keranda merupakan peti mayat yang terbuat dari batu.
- Kubur batu, adalah peti mayat dari batu,
- Punden berundak, digunakan untuk melakukan pemujaan terhadap roh nenek moyang.
- Waruga, yaitu kubur batu yang berbentukkubus atau bulat. Bangunan ini terbuat dari batu besar yang utuh.
- Arca atau patung yaitu bangunan yang terbuat dari batu besar berbentuk binatang atau manusia yang melsmbsngkan nenek moyang serta dipuja-puja.
2. Zaman Logam (Perundagian)
Pada zaman Logam orang sudah dapat membuat alat-alat dari logam di samping alat-alat dari batu. Orang sudah mengenal teknik melebur logam, mencetaknya menjadi alat-alat yang diinginkannya.
a. Zaman tembaga
b. Zaman perunggu
c. Zaman besi
FASE-FASE PERKEMBANGAN ILMU ANTROPOLOGI
1. FASE PERTAMA (SEBELUM 1800)
Kedatangan bangsa eropa barat ke benua Afrika, Asia, dan
Amerika selama 4 abad (sejak abad ke-15 hingga permulaan abad ke-16)
membawa pengaruh bagi berbagai suku bangsa ketiga benua tersebut.
Bersamaan dengan itu mulai terkumpul tulisa buah tangan para musafir,
pelaut, pendeta penyiar agama nasrani, penerjemah kitab injil, dan
pegawai pemerintahan jajahan dalam bentuk kisah perjalanan, laporan dan
sebagainya. Dalam buku-buku tersebut terdapat berbagai pengetahuan
berupa diskripsi tentang adat istiadat, susunan, masyarakat, dan
ciri-ciri fisik dari beragam suku bangsa baik di Afrika, Asia, Oseania
(yaitu kepulauan di laut teduh) maupun suku bangsa Indian, penduduk
pribumi Amerika. Bahan deskripsi itu (disebut ‘etnografi’ dari kata
ethos=bangsa) sangat menarik karena berbeda bagi bangsa eropa bangsa
barat kala itu. Akan tetapi, deskripsi tersebut sering kali tidak
jelas/kabur, tidak teliti, dan hanya memperhatikan hal-hal yang tampak
aneh bagi mereka. Selain itu ada tulisan yang baik dan teliti. Kemudian
dalam pandangan kalangan terpelajar di Eropa Barat timbul tiga macam
sikap yang bertentangan terhadap bangsa Afrika, Asia,Oseania, dan
orang-orang Indian di Amerika tadi, yaitu:
a) Ada yang berpandangan bahwa bangsa itu bukan manusia sebenarnya,
melainkan mereka manusia liar, keturunan iblis dan sebagainya. Dengan
demikian timbul istilah-istilah seperti iblis dan sebagainya. Dengan
demikian timbul istilah-istilah seperti savages, primitives, untuk
menyebut bangsa-bangsa tadi.
b) Ada yang berpendapat bahwa masyarakat bangsa-bangsa itu adalah
contoh dari masyarakat yang masih murni, belum mengenal kejahatan dan
keburukan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat
waktu itu.
c) Ada yang tertarik akan adat-istiadat yang aneh, dan mulai
mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa di
Afrika,Asia, Oseania, dan Amerika pribumi tadi itu. Kumpulan-kumpulan
pribadi itu ada yang dihimpun jadi satu, supaya dapat dilihat oleh umum,
dengan demikian timbul museum-museum pertama tentang kebudayaan
bangsa-bangsa di luar Eropa.
Pada permulaan abad ke-19 perhatian terhadap himpunan
pengetahuan tentang masyarakat, adat-istiadat dan ciri-ciri fisik
bangsa-bangsa di luar Eropa dari pihak dunia ilmiah menjadi sangat
besar, demikian besarnya sehingga timbul usaha-usaha pertama dari dunia
ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan
etnografi tadi menjadi satu.
2. Fase kedua (kira-kira pertengahan abad ke 19)
Integrasi yang sungguh-sungguh baru, timbul pada pertengahan
abad ke-19. Karangan-karangan etnografi tersebut berdasarkan cara
berfikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berfikir itu dapat
dirumuskan sebagai berikut: masyarakat dan kebudayaan menusia telah
berevolusi dengan sangat lambat yakni dalam jangka waktu beribu-ribu
tahun lamanya, dan tingkat-tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat
antara, sampai ke tingkat-tingkat. Bentuk masyarakat dan kebudayaan
seperti yang hidup di Eropa Barat kala itu. Semua bentuk masyarakat dan
kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa (oleh orang Eropa disebut
primitive) dianggap sebagai contoh dari tingkat kebudayaan lebih rendah,
yang masih hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari kebudayaan
manusia zaman dahulu. Berdasarkan cara berfikit tersebut, maka semua
bangsa di dunia dapat digolongakan menurut tingkat evolusi itu. Dengan
timbulanya beberapa karangan sekitar tahun 1860, yang mengklasifikasikan
tentang beragam kebudayaan diseluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat
evolusi tertentu. Maka timbulah ilmu antropologi.
Kemudian timbul pula beberapa karangan hasil penelitian
tentang sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di muka
bumi. Di sini pun kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu dianggap
sebagai sisa-sisa dan contoh-contoh dari kebudayaan manusia yang kuno
sehingga dengan meneliti kebudayaan menusia yang kuno sehingga dengan
meneliti kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu orang menambah
pengetahuan tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Dengan
demikian dapat kita simpulkan bahwa fase perkembangannya yang kedua ini
ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal, dengan tujuan yang
dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan
primitif dengan maksud untuk mendapatkan suatu pengertian tentang
tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran
kebudayaan manusia.
3. Fase Ketiga (permulaan Abad ke-20)
Pada permulaan abad ke-20, sebagian negara penjajah di Eropa
berhasil untuk mencapai kemantapan kekuasaannya di daerah jajahan di
luar Eropa. Untuk keperluan pemerintahan jajahannya tadi, yang waktu itu
mulai berhadapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah diluar Eropa,
maka ilmu antropologi sebagai ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa
di daerah-daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting. Berkaitan
erat dengan itu dikembangkan pemahaman bahwa mempelajari bangsa-bangsa
di daerah di luar Eropa itu penting karena bangsa-bangsa itu pada
umumnya mesih mempunyai masyarakat yang belum kompleks seperti
masyarakat bangsa Eropa. Suatu pengertian tentang masyarakat yang tidak
kompleks akan menambah juga pengertian orang tentang masyarakat yang
kompleks.
Suatu ilmu antropologi dengan sifat-sifat seperti yang terurai
tadi, terutama perkembangan di inggris sebagai negara penjajah yang
utama, ddan juga yang semua negara koloni lainnya. Amerika Serikat pun
bukan negara kolonial, tetapi telah mengalami berbagai masalah yang
berhubungan dengan suku-suku bangsa indian penduduk pribumi Benua
Amerika, kemudian terpengaruh oleh ilmu Antropologi yang baru tadi.
Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang
praktis, dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari
masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa, guna
kepentingan pemerintah kolonial dan guna mendapatkan suatu pengertian
tentang masyarakat masa kini yang kompleks.
4. Fase keempat (sesudah kira-kira 1930)
Dalam fase ini antropologi mengalami perkembangannya yang paling
luas, baik mengenai bertambahannya bahwa pengetahuan yang jauh lebih
teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Selain
itu kita lihat adanya dua perubahan di dunia:
a) Timbulnya antipati terhadap kolonialisme terhadap Perang Dunia II.
b) Cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam arti bangsa-bangsa asli
dan terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar
tahun 1930 mulai hilang, dan sesudah Perang Dunia II memang hampir tidak
ada lagi bumi ini.
Proses-proses tersebut menyebabkan ilmu antropologi seolah-olah
kehilangan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok dan tujuan yang
baru. Adapun warisan dari fase-fase perkembangan semula, Yaitu yang
pertama, kedua, dan ketiga, berupa bahan etnografi dan banyak metode
ilmiah, tentu tidak dibuang sedemikian saja, tetapi menjadi umum di
negara-negara lain juga setelah tahun 1951, ketika 60 orang tokoh ahli
antropologi dari berbagai negara di Amerika dan Eropa (termasuk Uni
Soviet), mengadakan suatu simposium internasional untuk meninjau dan
merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari ilmu antropologi yang
baru itu.
Pokok atau sasaran dari penelitian para akli antropologi sudah
sejak tahun 1930, memang tidak hanya suku-suku bangsa primitif yang
tinggal di Benua Eropa saja, tetapi sudah teralih kepada manusia di
daerah pedesaan pada umumnya, ditinjau dari sudut keragaman fisiknya,
masyarakatnya, serta kebudayaannya. Dalam hal itu, perhatian tidak hanya
tertuju kepada penduduk daerah pedesaan di luar benua Eropa, tetapi
juga kepada suku-suku bangsa di daerah pedesaan di Eropa (seperti
suku-suku bangsa Soami, Flam, Lapp, Albania, Irlandia, penduduk
pegunungan Sierra dan lain-lain), dan kepada penduduk beberapa kota
kecil di Amerika Serikat (Middletown, Jonesville dan lain-lain).
Mengenai tujuannya, ilmu antropologi yang baru dalam
fase-perkembangan yang keempat ini dapat di bagi dua, yaitu tujuan
akademikal dan tujuan praktisnya. Tujuan akademiknya adalah mencapai
pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari
keragaman bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya. Karena di
dalam praktik ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat
suku-bangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam
keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa
itu.
Sumber : http://kulpulan-materi.blogspot.com/2012/01/fase-fase-perkembangan-ilmu-antropologi.html
Sumber : http://kulpulan-materi.blogspot.com/2012/01/fase-fase-perkembangan-ilmu-antropologi.html
ANTROPOLOGI HUKUM
Pengertian Antropologi Hukum
Antropologi hukum
merupakan salah bidang ilmu hukum yang masih sangat jarang diketahui
oleh masyarakat luas. Orang lebih mengenal antropologi sebagai bidang
ilmu yang dekat dengan peristiwa sejarah dan budaya dan karena itu
tidak mungkin memiliki kaitan dengan ilmu hukum. Namun inilah hukum,
bidang ilmu yang sangat luas dan mencakup hampir seluruh aspek kehidupan
manusia.
Sebelum kita masuk dalam pembahasan mengenai antropologi hukum, ada baiknya kita menilik terlebih dahulu pengertian antropologi hukum itu sendiri.
Antropologi merupakan istilah yang
berasal dari bahasa yunani, yakni berasal dari kata “antropos” dan kata
“logos”. Antropos dalam bahasa yunani berarti manusia sedangkan logos
dalam bahasa yunani berarti ilmu. Dengan demikian, pengertian
antropologi secara harafiah adalah ilmu tentang manusia. Antropologi
merukan bidang ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk biologis
dan manusia sebagai makhluk sosial.
Ada beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli mengenai definisi antropologi, antara lain:
Antropologi menurut William A. Havilland adalah
“kajian mengenai umat manusia yang berupaya menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia”.
Antropologi menurut David Hunter adalah
“Bidang ilmu yang lahir dari keingintahuan manusia yangtidak terbatas pada manusia”.
Antropologi menurut Koentjaraningrat adalah
“Bidang ilmu yang mempelajari manusia pada umumnya melalui aneka warna dan bentuk fisik serta kebudayaan yang dihasilkan oleh manusia”.
Berdasarkan pengertian antropologi yang disebutkan diatas, maka dapat diuraikan pengertian antropologi hukum sebagai berikut:
“Antropologi hukum adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari manusia dan kebudayaannya di bidang hukum”.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan
kebudayaan hukum dalam antropologi hukum adalah segala kebudayaan yang
terkait dengan aspek hukum yang digunakan oleh kekuasaan dalam
masyarakat untuk mengatur anggota masyarakatnya agar tidak melanggar
aturan dan norma sosial yang telah diatur dan ditetapkan dalam
masyarakat itu sendiri.
Terdapat pengertian mengenai antropologi
hukum dari sudut pandang antropologi dan sudut pandang ilmu hukum itu
sendiri. Dari sudut pandang antropologi, antropologi hukum merupakan
sub disiplin antropologi budaya yang memfokuskan kajiannya pada berbagai
fenomena empiris terkait dengan aspek hukum dalam kehidupan masyarakat
secara luas, sedangkan dari sudut pandang ilmu hukum itu sendiri,
antropologi hukum merupakan sub disiplin atas bidang hukum empiris yang
konsentrasi kajiannya pada studi mengenai hukum dengan menggunakan
pendekatan antropologi.
Lahirnya Antropologi Hukum
Antropologi hukum merupakan salah satu
bidang ilmu sosial yang tergolong masih sangat baru bila dibandingkan
dengan ilmu sosial lainnya. Antropologi hukum sebagai salah satu sub
bidang ilmu hukum lahir setelah para ahli antropologi melakukan
penelitian mengenai hukum sebagai sarana pengendalian sosial. Sehingga
ilmu mengenai antropologi hukum itu sendiri lahir bukan dari para ahli
hukum melainkan dari ahli antropologi yang melakukan studi mengenai
hukum dan masyarakat.
Sebuah karya klasik dari Sir Henry Maine
yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1862 menjadi cikal bakal
lahirnya antropologi hukum. Karya klasik yang berjudul “the ancient
law” tersebut mengulas mengenai “the evolutionistic theory” dan
menyatakan bahwa “hukum berkembang seiring dan sejalan dengan
perkembangan masyarakat, mulai dari masyarakat yang sederhana atau
primitif, masyarakat tradisional dan kesukuan atau tribal hingga
masyarakat yang modern dan serba kompleks.
Perkembangan Antropologi Hukum
Pada awal perkembangannya, antropologi
hukum mengkaji mengenai hukum dan eksistensinya serta implementasi hukum
dalam masyarakat yang primitif dan kesukuan atau tradisional. Kemudian
pada tahun 1940an dampai dengan sekitar tahun 1950an kajian antropologi
hukum mulai bergeser ke arah kajian mengenai bentuk-bentuk penyelesaian
sengketa dalam masyarakat. Tema kajian antropologi hukum terus
berkembang hingga pada tahun 1960an tema studi antropologi hukum lebih
berkonsentrasi pada adanya fenomena kemajemukan hukum.
Tema
kajian antropologi hukum terus berkembang hingga pada tahun 1970an
mulai secara sistematis diarahkan untuk mengkaji hubungan antar
institusi atau lembaga-lembaga penyelesaian sengketa secara tradisional
dan neo tradisional serta menurut institusi hukum modern yang ada dalam
sebuah negara.
Antropologi hukum telah memberikan
kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan ilmu hukum. Kajian
mengenai antropologi hukum akan kami bahas lebih lanjut dalam artikel
berikutnya. Semoga artikel mengenai antropologi hukum ini bermanfaat
bagi anda.